Gatra Pasupati – Jum’at 29 Maret 2024
Karangasem – Kantor Kementerian Agama Kabupaten Karangasem melalui Penyuluh Agama Islam Non PNS, Sukri Ariadi fasilitasi kegiatan Sholat Jum’at di Masjid Al-Muhajirin, Perumnas Paye sebagai Imam dan Khotib. Tema khutbah pada kali ini terkait Faedah Puasa menurut Imam Izzudin Abdussalam.
Dalam kitabnya, Maqâshid al-Shaum,Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami (w. 660 H) mengatakan paling tidak ada tujuh faedah puasa di bulan Ramadan yang satu sama lainnya saling terkait. Faedah yang dibicarakan di sini adalah soal “pembangunan diri”, baik dari sisi agama maupun individu. Tujuh faedah tersebut adalah:
1. Raf’u al-Darajât (Meninggikan Derajat)
Pandangannya ini didasari oleh beberapa hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, salah satunya yang mengatakan:
إِذَا جَاءَ رَمَضَانَ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنَ “
Ketika Ramadhan tiba, dibukalah pintu-pintu surga, ditutuplah pintu-pintu neraka dan setan pun dibelenggu.” (HR Imam Muslim)
Imam Izzuddin memandang dibukanya pintu surga sebagai simbol atau tanda untuk memperbanyak ketaatan terutama yang diwajibkan.Logika sederhananya , meskipun pintu surga telah dibuka lebar-lebar, apakah semua orang berhak melintasinya tanpa memperbanyak ketaatan selama bulan Ramadhan dan bulan-bulan setelahnya? Artinya, dibukanya pintu surga merupakan dorongan untuk memperbanyak ibadah. Apa artinya pintu yang terbuka tanpa ada seorang pun yang berkeinginan untuk memasukinya.
Tentang ditutupnya pintu neraka Imam Izzuddin menganggapnya sebagai simbol, untuk menyedikitkan maksiat. Penggunaan kata “qillah—sedikit” ini menarik, seakan-akan Imam Izzuddin memahami betul manusia tidak mungkin sempurna dalam menghindari kesalahan. Manusia pasti membawa dosanya ketika menghadap Tuhannya di akhirat kelak, yang membedakan adalah kadarnya, banyak atau sedikit.
Simbol berikutnya adalah dibelenggunya setan Menurutnya, simbol ini adalah tanda terputusnya kewaswasan (bisikan lembut setan) bagi orang-orang yang berpuasa. Artinya, baik buruknya orang yang berpuasa murni tergantung pada dirinya sendiri. Karena itu, akan sangat tidak etis jika manusia dengan berbagai peluang kemuliaan derajat yang diberikan Allah di bulan Ramadhan ini masih enggan berbuat baik dan malah berbuat jahat.
2. Takfîr al-Khathî’ât (Penghapus Kesalahan/Dosa)
Dasar dari faedah yang kedua ini adalah hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengatakan:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ “
Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (H.R. Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Yang dimaksud “îmânan—karena iman” dalam hadits di atas adalah meyakini kewajiban puasa dan melaksanakannya Dan maksud dari “ihtisâban—mengharapkan pahala” adalah, “li ajrihi ‘inda rabbihi—merendahkan diri memohon upah/pahala dari Tuhannya. Meminta imbalan (pamrih) kepada Allah merupakan bentuk penyerahan diri, pernyataan keimanan dan menyatakan kelemahan di hadapan-Nya. Berbeda halnya dengan pamrih antar sesama manusia yang seakan-akan menunjukkan ketidak-tulusan. Di samping itu, manusia memiliki masalahnya sendiri-sendiri, sekuat dan setegar apa pun dia, sekaya dan semampu apa pun dia, manusia tidak mungkin lepas dari persoalan hidup, sehingga meminta imbalan kepada mereka, sama saja dengan menambahi beban hidup mereka.
3. Kasr al-Syahawât (Memalingkan/Mengalahkan Syahwat)
Faedah puasa berikut ini didasari oleh hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengatakan:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Wahai para pemuda, barangsiapa yang mampu untuk menikah, maka menikahlah. Sesungguhnya menikah lebih bisa menundukan pandangan dan lebih mudah menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu menikah, maka berpuasalah, sesungguhnya puasa itu adalah penekan syahwatnya.” (HR Imam Ahmad dan Imam Bukhari)
Hadits di atas yang membuat Imam Izzuddin al-Sulami berpendapat bahwa lapar dan haus dapat mengalahkan atau memalingkan syahwat. Beliau mengatakan:
فإنّ الجوع والظمأ يكسران شهوات المعاصي “
Sesungguhnya lapar dan haus dapat mengalahkan syahwat bermaksiat.”
Perlu dipahami sebelumnya, bahwa lapar dan haus di sini bukan kelaparan dan kehausan yang disebabkan oleh keadaan yang sering menimbulkan problem sosial seperti pencurian, perampokan, dan lain sebagainya. Lapar dan haus di sini adalah puasa, yaitu lapar dan haus yang disengaja dan didasari oleh niat ibadah. Niat ibadah inilah yang membuat lapar dan haus memiliki arti, yaitu menjadi ajang melatih diri, mengendalikan hawa nafsu dan meminimalisasi syahwat bermaksiat.
4. Taktsîr al-Shadaqât (Memperbanyak Sedekah)
Dalam pandangan Imam Izzuddin al-Sulami, puasa dapat membuat manusia memperbanyak sedekah. Beliau mengatakan:
لأنّ الصّائم إذا جاع تذكّر مَا عنده من الجوع فحثّه ذلك علي إطعام الجائع “
Karena sesungguhnya orang berpuasa ketika dia merasakan lapar, dia mengingat rasa lapar itu. Hal itulah yang memberikan dorongan kepadanya untuk memberi makan pada orang yang lapar.”
Merasakan penderitaan bisa mengarahkan manusia pada dua hal, menjadi egois dan menjadi dermawan. Menjadi egois karena dia ingin memiliki semuanya sendiri agar tidak merasakan penderitaan itu lagi. Menjadi dermawan karena dia pernah merasakan susahnya menderita sehingga ketika melihat orang lain menderita, dia ikut merasakannya. Dalam hal ini, puasa merupakan sarana pelebur kemungkinan pertama (menjadi egois). Orang yang berpuasa telah menyengajakan dirinya untuk melalui peleburan tersebut, dan melatih dirinya sendiri untuk menjadi lebih perasa.
5. Taufîr al-Thâ’ât (Memperbanyak/Menyempurnakan Ketaatan)
Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami memandang bahwa orang yang berpuasa mengingatkan mereka pada lapar dan hausnya ahli neraka. Beliau mengatakan:
لأنّه تذكّر جوع أهل النار والظمأهم فحثّه ذلك علي تكثير الطاعات لينجو بها من النّار “
Karena puasa mengingatkan kelaparan dan hausnya ahli neraka. Hal itulah yang mendorong orang berpuasa memperbanyak ketaatan kepada Allah agar terselamatkan dari api neraka.
Di sinilah pentingnya pengetahuan, karena pengetahuan bisa membuat manusia memperbaharui atau mengarahkan niat ibadahnya. Perkataan Imam Izuddin al-Sulami di atas, belum tentu terpikirkan oleh orang yang menjalankan ibadah puasa, tapi dengan membaca perkataannya, manusia bisa memahami kelaparan dan kehausan puasa dari sudut pandang lain, yaitu mengingatkan mereka pada kelaparan dan kehausan ahli neraka, sehingga mendorong mereka memperbanyak ketaatan kepada Allah agar tidak sampai mengalami kejadiaan itu selama-lamanya di neraka.
6. Syukr ‘Âlim al-Khafiyyât (Bersyukur Mengetahui Kenikmatan Tersembunyi)
Manusia sering lalai atas nikmat Tuhan yang mengelilinginya sehari-hari seperti udara, nafas, gerak dan lain sebagainya. Menurut Imam Izzuddin al-Sulami, puasa dapat mengembalikan ingatan itu dan membuat mereka mensyukurinya. Beliau berkata:
إذا صام عرف نعمة الله عليه في الشِّبَع والرِّيّ فشكرها لذلك, فإنّ النِّعَم لا يُعرف مقدارُها إلّا بفقدها
Ketika berpuasa, manusa menjadi tahu nikmat Allah kepadanya berupa kenyang dan terpenuhinya rasa haus. Karena itu mereka bersyukur. Sebab, kenikmatan tidak diketahui kadar/nilainya kecuali nikmat itu telah hilang.
Kelalaian akan segala nikmat Allah harus diuji agar kembali dikenali. Ujian itu bisa dihadirkan “tanpa disengaja” dan “dengan disengaja”. Ujian “tanpa disengaja” adalah ujian yang langsung dari Allah, contohnya sakit, sehingga penderitanya mengetahui nikmatnya sehat. Ujian “dengan disengaja” adalah ujian yang sengaja oleh pelakunya sebagai bentuk riyadlah (olah diri), contohnya berpuasa, sehingga pelakunya semakin mengenali nikmatnya kenyang dan hilangnya rasa haus.
7. Al-Inzijâr ‘an Khawâthir al-Ma’âshî wa al-Mukhâlafât (Mencegah Keinginan Bermaksiat dan Berlawanan)
Dalam pandangan Imam Izzuddin, orang yang kenyang memiliki kecenderungan lebih untuk bermaksiat tapi di saat lapar dan haus, fokusnya lebih pada,mencari makanan dan minuman sehingga mengurangi keinginannya berbuat jahat. Tapi sekali lagi perlu diingat, lapar dan haus di sini adalah puasa, bukan kelaparan yang disebabkan oleh keadaan tertentu sebagaimana dijelaskan pada faedah yang ke 3 diatas. Mudahnya begini, puasa merupakan ibadah yang memiliki cakupan waktu yang cukup panjang, dari mulai fajar hingga terbenamnya matahari. Dengan demikian, puasa bisa menjadi pencegah efektif untuk manusia dari melakukan perbuatan jahat. Ketika dia hendak melakukan sesuatu, dia teringat bahwa dirinya sedang berpuasa, atau puasanya telah mengingatkan dirinya agar tidak melakukannya. Jika dia tetap melakukannya, dia telah menghilangkan keberkahan puasanya sekaligus melanggar janjinya kepada Tuhan setelah mengikrarkan niatnya untuk berpuasa.


