Wayahan Supat tersenyum. Ditatapnya lekat sepasang pohon cemara yang tumbuh menjulang mengapit jalan masuk ke jeroan pura.

“Upacara urung digelar. Gunung Agung diperkirakan meletus dashyat. Bisa jadi lebih dahsyat dari letusan tahun 1963.”

Warga dusun berbondong meninggalkan balai musyawarah. Wajah-wajah cemas melintas tergesa-gesa. Waktu yang ditunggu-tunggu lima tahun sekali, menguap lekas. Wayahan Supat menyelesaikan ikatan terakhir atap ilalang balai saji. Perangkat upacara rampung sudah.

“Seluruh warga harus mengungsi ke Desa Bukit. Atau jauh lebih ke timur.” Kepala dusun meniti jalan-jalan dusun. Pengeras suara yang dipegangnya terus melengking merobek udara.

“Segera berkemas. Kita berangkat bersama-sama. Bawa pakaian secukupnya. Jangan berlebihan. Padamkan meter listrik. Kunci jendela dan pintu rumah. Jangan sampai ada warga yang tertinggal.”

Ini seperti sepotong makanan menggiurkan. Hanya sepotong. Mulut sudah menganga, tangan sudah bergerak menyuap, gerigi siap melumat, liur mengalir sudah, tiba-tiba ibu berteriak histeris, “Jangan dimakan!” Sesak dada Wayahan Supat bergulir berbutir-butir di pipi keriputnya.

“Sudahlah, cinta tidak membuang laparmu. Sampai sekarang aku tidak pernah mencintaimu, sampai sekarang kau tidak pernah mencintaiku, tujuh anak aku lahirkan, dua puluh dua cucu meneruskan. Apa yang masih kurang?”

Luh Surat, istri Wayahan Supat berpegangan pada pohon rindang di tepi jalan.

“Hanya karena aku dilahirkan di dusun ini. Waktuku lebih banyak habis di dusun ini. Sama seperti jika aku dilahirkan di dusun seberang, waktuku lebih banyak habis di dusun seberang. Itu saja.”

Truk, mobil, sepeda motor meraung-raung meninggalkan dusun. Jalan-jalan dusun bermuara di jalan-jalan desa, bermuara di jalan-jalan kecamatan. Kendaraan bermotor bergerak lamban, meraung-raung ketakutan mencari wilayah dilindungi gugusan bukit. Kematian terasa begitu dekat mengancam, sejengkal saja menjangkau jantung. Satu hari satu malam waktu habis di jalan raya.

Wayahan Supat dan istrinya memilih tinggal di kandang sapi milik warga Desa Bukit, sekitar lima ratus meter jauhnya dari tempat penampungan pengungsi. Bau kotoran sapi, suara keroncong di leher sapi, sesekali lenguhnya, sangat mendekatkan Wayahan Supat dengan lingkungan barunya. Tidur beralaskan selembar karpet tipis di balai-balai kecil, bukan hal asing baginya. Baginya, yang paling dibutuhkan menjelang tidur adalah mengantuk tanpa rasa menggelantung memberat.

Bangun pagi-pagi sekali, menjerang air di tungku kecil dengan api kecil meliuk-liuk dihembus angin, tidak mengasingkannya di tempat yang memang asing baginya. Dua gelas kopi tanpa gula, untuknya dan untuk istrinya, membuka kesehariannya. Pemilik tegalan tidak pelit untuk orang asing seperti dirinya. Diberinya keleluasaan memetik, memanen, atau memanfaatkan apa yang dibutuhkan oleh Wayahan Supat. Ketujuh anak Wayahan Supat tidak berhasil membujuknya. Ia tidak mau tinggal di rumah anak-anaknya yang bekerja di Denpasar, Badung, atau Buleleng. Anak-anaknya menyerah. Pemberian uang diterimanya. Untuk berjaga-jaga saja.

“Seperti inilah ruang hidup ayah dan ibumu.” Rumah, sawah, dan kebun terbuang dari kesehariannya. Mereka larut di gubuk dan tegalan tempatnya menumpang tinggal. Hanya saja, sepasang cemara yang tumbuh menjulang mengapit jalan masuk ke jeroan pura, seluruh balai saji yang sudah rampung, sesaji masih dalam tahap penyelesaian, kerap mengerling ruang pikirnya, sesekali menyelip ke dalam mimpinya.

“Sudahlah, jangan dipikirkan, jangan dicemaskan. Beban pikiran menjadi mimpi. Mimpi adalah sisa khayal yang tidak habis mengalir menjadi peluh.” Kepala dusun tersenyum, Wayahan Supat juga tersenyum. “Perbanyaklah menyabit rumput. Mencangkul menyiangi tanaman cengkeh akan lebih banyak menguras peluh.”

“Mimpi gila!” Berulang-ulang jero mangku lingsir menyeruak mimpi Wayahan Supat, berdiri memandang sayu ke arah Wayahan Supat. Sudah di-aben, sudah malinggih menjadi dewa hyang, mengapa bisa hadir mengusik ruang mimpi? Senyum itu? Senyum jero mangku lingsir itu? Mengapa ada senyum dengan pandangan sayu? Mengiris sebagian hatinya. Sebagian kecil, tapi sangat berarti.

“Kita ini seperti berjalan dalam balutan kabut tebal dan pekat. Adakalanya kabut tersibak atau menipis, lalu kita bisa melihat dalam jarak pandang yang lebih jauh dari biasanya. Bisa jadi mimpimu itu ruang pandang di depan kita, sangat mungkin juga ruang pandang di belakang kita. Hanya saja kita mesti memastikan itu ruang pandang kita atau hanya ruang fatamorgana. Yang pasti, mimpimu bukan ruang kita hari ini.” Luh Surat merapatkan duduknya mendekat Wayahan Supat. Wangi segelas kopi hangat mencengkeram ruang nikmatnya.

“Artinya jangan sampai aku terjebak dan tersesat di ruang mimpi.” Luh Surat mengangguk. “Setidaknya aku sudah bertemu dengan dewa hyang jero mangku lingsir.”

“Ya. Jangan sampai juga beli segera menjadi dewa hyang,” Luh Surat tertawa kecil. “Aku takut menjadi janda. Aku belum siap.”

“Kita sudah sama-sama tua. Aku menjadi duda, Luh menjadi janda, atau entah apa; ketakutan dan ketidaksiapan kita tidak akan menjadi gedong batu bagi napas kita.”

Ada mimpi atau tidak, ketakutan atau tidak, siap atau tidak; melintas di jalan kehidupan sudah pasti dan mesti tiba di perhentian. Wayahan Supat tersenyum memandang punggung istrinya. Ingin tersenyum saja. Tidak ada yang ruang lucu di punggung istrinya, tidak juga ada ruang riang di sana. Adakah kecemasan dijawab senyum?

Hidup terbiasa terkotak-kotak dalam kamar tidur, sangat terganggu oleh keleluasaan di tempat pengungsian. Hari-hari berpangku tangan berlalu dengan perasaan sangat tidak betah. Seorang demi seorang mengikuti langkah Wayahan Supat kembali ke rumahnya, meninggalkan ruang libur di tempat pengungsian. Hidup harus bekerja, sekalipun penuh dengan ancaman. Ada juga yang masih bertahan karena diberikan pekerjaan oleh warga Desa Bukit sebagai pemetik bunga cengkeh atau pekerjaan lain.

Wayahan Supat larut kembali di dusunnya. Sesekali ditatapnya lekat sepasang pohon cemara yang tumbuh menjulang mengapit jalan masuk ke jeroan pura, perangkat upacara dan seluruh balai saji yang sudah rampung hampir roboh dimakan anai-anai, dan sesaji masih dalam tahap penyelesaian sudah tidak jelas bentuk. Mimpi Wayahan Supat masih utuh menggelantung memberat. Senyum atau cemberut tidak bisa menggulung waktu pada jalan kehidupan yang sudah dilintasi.(***)

By : Komang Berata

Skip to content